Knowledge Management : Intervensi Internalisasi Budaya


Strategi perusahaan biasanya mengarah pada berbagai usaha  untuk membuat bisnis yang dijalankan dapat bertahan dan dapat menjadi pemiempin diantara para kompetitornya. Michael Porter (1990) berpendapat bahwa perusahaan yang dapat bertahan harus memiliki “Competitive Advantages” dimana nilai keunggulan ini ditekankan pada kemampuan organisasi untuk mengembangkan suatu atribut yang memungkinkannya mengungguli para kompetitornya. Atribut ini dapat termasuk akses ke sumber daya alam atau dapat juga adanya akses sumberdaya manusia yang terlatih dan terampil. Wacana ini telah meningkatkan kesadaran perusahaan akan peran pengetahuan dalam menciptakan keunggulan kompetitif perusahaan , seperti adanya berbagai bentuk inovasi dari strategi hingga inovasi produk yang dihasilkan (Cummings & Worley,2005). Peran penting pengetahuan tersebut pada akhirnya menempatkan pengetahuan sebagai salah satu aset yang harus dikelola dengan baik agar memberi kontribusi yang maksimal bagi perusahaan. Pengelolaan pengetahuan dalam perusahaan tidak lepas dari dua proses perubahan yang saling berkaitan, yaitu:
1.  Organisasi Pembelajar, fokus pada peningkatan kapabilitas perusahaan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan baru.
2.  Manajemen Pengetahuan, yang memfokuskan pada bagaimana pengetahuan dapat diorganisasikan dan digunakan untuk meningkatkan kinerja.
(Cummings & Worley,2005).

Salah satu ciri Organisasi Pembelajar adalah adanya budaya organisasi yang mampu mendorong keterbukaan, kreativitas, dan eksperimentasi diantara anggota-anggotanya (Cummings & Worley,2005) serta memastikan terjaganya aliran pengetahuan penting/ kritis dan informasi dalam organisasi terutama aliran secara horisontal -antar karyawan (Dalkir, 2005). Budaya organisasi  dalam implementasi KM sendiri hampir selalu membutuhkan perubahan budaya -bila tidak dapat dilakukan perubahan maka setidaknya dapat menyentuh budaya yang telah ada agar dapat mendukung Knowledge Sharing dan kerjasama. Masalah muncul ketika banyak orang yang menentang perubahan dan biasanya karena anggapan bahwa perubahan ini tidak memberikan peningkatan pada kehidupan kerjanya padahal perusahaan penting untuk melakukan perubahan budaya agar aliran pengetahuan secara horisontal dapat berjalan dengan baik (Dalkir, 2005).
Berdasarkan faktor pentingnya perubahan budaya dan ketersediaan dukungan tiap anggota perusahaan,maka perlu dibuat intervensi yang mampu mendorong terbentuknya budaya organisasi mampu mendorong munculnya keunggulan kompetitif perusahaan. Berikut ini adalah intervensi yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Intervensi ini dibagi menjadi tiga level intervensi, yaitu : Level organisasi, kelompok dan individu.

1.    Level Organisasi
Peran perusahaan dalam pelaksanaan berbagai kegiatan atau program adalah memfasilitasi agar program tersebut dapat dijalankan dengan sukses. Pada level organisasi intervensi dilakukan dalam bentuk pembuatan kebijakan berupa pemberian undian berbasis insentif dan performance feedback untuk menjaga agar pelaksanaan kegiatan dapat dimonitor oleh perusahaan dan didukung oleh setiap karyawan. Gabungan kedua intervensi ini terbukti berhasil meningkatkan kinerja karyawan dalam organisasi pelayanan (Cook & Dixon, 2005). Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dibuatlah kebijakan dengan melakukan penyesuaian sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh masing-masing perusahaan. Penerapan kebijakan ini diberlakukan kepada setiap karyawan dimana setiap karyawan diharuskan untuk mendukung, membiasakan berbagi pengetahuan untuk. mensukseskan program Knowledge Management.
Undian diberikan kepada setiap karyawan yang mengikuti Knowledge Sharing atau kegiatan berbagi pengetahuan lain baik sebagai peserta maupun pemateri. Undian yang diberikan dibedakan baik dari segi besarnya insentif maupun frekuensi,pemberian, tergantung peran masing-masing (sebagai pemateri atau peserta). Alih-alih mengamankan dana tambahan untuk bonus setiap karyawan yang mencapai kriteria kinerja, dengan adanya sistem undian ini perusahaan akan hanya perlu mengalokasikan anggaran untuk ‘hadiah” atau dapat juga disebut sebagai penguat terkondisikan (Conditioned Reinforcer) untuk perbaikan kinerja perorangan. Hadiah dapat di modifikasi sesuai dengan keputusan pemegang kebijakan, misalnya dengan memberikan voucher refreshing atau kesempatan mengikuti training bergengsi (Neenan, 2005).
Performance feedback diberlakukan dalam perusahaan kepada setiap karyawan. Pemberi feedback adalah supervisor atau atasan dan penerima feedback adalah bawahan. Feedback yang diberikan didasarkan pada laporan hasil kinerja dan laporan frekuensi keikutsertaan dalam kegiatan knowledge sharing. Hal ini dibuktikan dengan KPI dan daftar presensi kegiatan knowledge sharing. Performance feedback selain menyediakan penghematan biaya juga tidak membutuhkan  usaha yang berat pada pelaksanaannya (Reid, Rotholz, Parsons,Morris, Braswell, Green, & Schell dalam  Neenan, 2005). Untuk meningkatkan efektifitas feedback maka dapat dilakukan pelatihan ketrampilan memberi feedback kepada tiap supervisor.

2.    Level Kelompok
Intervensi pada level ini menggunakan pendekatan kombinasi antara pendekatan Albert Bandura (Teori Belajar Sosial/Imitasi) dengan pendekatan Transpersonal. Pada level kelompok ini intervensi yang dapat dilakukan adalah berupa sosialisasi, training maupun coaching kelompok/ unit kerja yang dilakukan secara berkala atau terjadwal.
Intervensi dimulai dengan penyusunan konsep dengan tujuan utamanya meningkatkan keterlibatan senior/ ahli dalam Knowledge Sharing yang diselenggarakan dan menanamkan budaya berbagi pengetahuan. Keterlibatan senior/ ahli ini penting karena dalam Teori Belajar Sosial Bandura mereka dapat diasosiasikan sebagai model yang harus ditiru oleh karyawan lainnya. Belajar dalam teori Bandura (dalam Feist & Feist, 2006), melibatkan empat proses penting, yaitu attention (memperhatikan), retention (mengingat), reproduction (mereproduksi), dan motivation (dorongan). Tugas organisasi adalah memberikan motivasi dengan membuat kebijakan yan mendukung intervensi pada level yang lebih kecil.
Berikut adalah proses intervensi  pada level kelompok (PDCA Cycle) :
1.    Membuat rancangan kegiatan dan menentukan budaya yang ingin ditanamkan.
2.    Memilih senior/ahli yang dapat dijadikan “Role Model” dan melaksanakan sosialisasi, training atau coaching yang melibatkan “Role Model”
a.    Tugas Role Model dalam sosialisasi dan training adalah sebagai pemateri tunggal atau sebagai Story Teller tentang pengalaman-pengalaman (Wende & Haghirian,2009) sebelum masuk dalam materi inti yang disampaikan oleh konsultan.
b.    Tugas lainnya adalah sebagai pelatih (Coach) dalam unit kerja yang memberikan feedback dan melakukan pendampingan.
3.    Melakukan evaluasi kaitannya dengan perubahan perilaku karyawan.
4.    Menindak lanjuti evaluasi untuk perbaikan intervensi.

Sebagai tambahan kombinasi dalam pelaksanaan sosialisasi dan training maka pendekatan transpersonal dapat digunakan. Salah satu metodenya adalah Transcendental Meditation (TM), Penelitian membuktikan bahwa TM secara signifikan mampu menurunkan stress, membalikkan efek stress, meningkatkan derajat kesehatan individu maupun sosial, kreatifitas, kecerdasan, dan perilaku sosial (Kenny, 2008). Chalmer, Clements, Schenkluhn, dan Weinles (dalam Kenny,2008) menambahkan bahwa praktek TM secara kelompok menunjukkan lebih banyak manfaat daripada praktek secara individual. Hal ini menunjukkan tingkat efektifitas TM dalam mengubah perilaku terutama jika TM dilakukan dalam kelompok atau dalam unit kerja. Sosialisasi maupun training yang dilakukan dengan pendekatan ini dapat disesuaikan dengan tujuan organisasi, Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka TM dapat dikombinasikan dalam sosialisasi maupun training. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut agar materi yang diberikan dapat lebih mudah diserap oleh peserta.TM dapat digunakan sebagai media yang menunjang tercapainya tujuan utama yaitu penanaman budaya berbagi pengetahuan.

3.    Level Individu
Pada level individu peneliti menekankan pada penggunaan pendekatan Cognitive Behavior karena salah satu metodenya yaitu CBT (Cognitive Behavior Therapy atau Beck’s Cognitive Theraphy) menjadi salah satu pendekatan paling penting dan paling baik validasinya dalam pendekatan psikoterapiutik (Neenan, 2008). CBT saat ini telah dkembangkan oleh Neenan (2008) menjadi CBC (Cognitive Behavior Coaching), penelitiannya membuktikan bahwa CBC sangat ampuh digunakan untuk membantu klien mencapai potensinya dengan memfokuskan pada aspek psikologis dan aspek praktis dalam pencapaian tujuan. Dibandingkan dengan membiarkan klien berpikir bahwa hambatan–hambatan adalah hal yang kekal dan tak bisa dirubah maka klien dapat belajar bahwa hambatan-hambatan untuk berubah hanyalah bentukan pikiran saja dan dengan demikian dapat membuka perspektif baru untuk membantu mereka untuk mengejar kehidupan yang lebih memuaskan.
Berdasarkan penjelasan diatas maka CBC akan mampu memberikan kontribusi maksimal dalam penanaman budaya berbagi dan mengubah perilaku karyawan sesuai dengan budaya yang harapkan perusahaan.
Praktek CBC:
Struktur yang biasa ada dalam sesi coaching adalah mendiskusikan dan memperjelas persoalan-persoalan yang dialami oleh klien, membuat tujuan (SMART,Specific, Measurable,Attainable,Relevant,Time specific) (+ER, Enterpreneurial -Mendorong untuk berpikir dan bertindak,Recorded –ditulis untuk meminimalisir kesalahpahaman, Kermally, 2002), mendiskusikan pilihan untuk berubah, mengembangkan Action plan, memperkuat tanggungjawab klien dalam mengimplementasikan rencana dan diakhir sesi menambahkan feedback untuk menentukan hal-hal yang membantu dan yang tidak membantu dari tiap sesi yang ada, tujuannya adalah untuk menyesuaikan coaching sesuai dengan preferensi klien. Sesi selanjutnya, reviu perkembangan dari action plan yang telah dibuat.
Hal yang seringkali terjadi adalah adanya penolakan dari klien, misalnya menolak mengikuti karena menganggap perubahan tidak ada gunanya dan ada juga yang ditengah sesi menjadi patah semangat untuk menjadi agen perubahan. CBC diklaim mampu menangani permasalahan-permasalahan tersebut baik masalah psikologis maupun masalah dalam prakteknya. Cara yang digunakan adalah konseling yang secara psikologis ditujukan untuk menghilangkan “batu penghalang” (misal: prokrastinasi, keragu-raguan yang berlebihan, ketidaktegasan maupun penurunan harga diri). Secara praktis dengan CBC seorang coach dituntut untuk mampu membantu klien dalam mengembangkan  tujuan-tujuannya dan langkah-langkah pencapaiannya, karena kadang klien tahu dengan tujuannya namun sulit secara objektif menentukan langkah yang harus ditempuhnya. Perlakuan secara psikologis dan praktis menurut Walen et al. (1992,dalam Neenan, 2008) sama-sama penting, sehingga perusahaan perlu untuk menempatkan personilnya yang memiliki keahlian di kedua hal tersebut untuk meningkatkan efektifitas CBC ini.
Category(s) , , ,